Pesantren kembali menegaskan perannya sebagai pusat peradaban dan ilmu dengan meluncurkan program inovatif bertajuk “One Santri One Book”. Program ini merupakan gerakan literasi yang mendorong setiap santri untuk menghasilkan satu karya buku sebagai bentuk nyata kontribusi intelektual mereka. Melalui kegiatan ini, para santri tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi produsen gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya memperkuat tradisi keilmuan di lingkungan pesantren yang telah lama dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu dan peradaban Islam.
Tujuan utama dari program “One Santri One Book” adalah menumbuhkan budaya literasi yang kuat di kalangan santri sejak dini. Dengan membaca dan menulis, para santri dilatih untuk berpikir kritis, menyusun argumen secara sistematis, serta mengekspresikan pemikiran mereka secara mendalam.
Dalam proses penulisan santri akan menghadapi beberapa tahapan dalam program ini, mulai dari pendaftaran, pengumpulan outline karya tulis, pelatihan dan mentoring online/offline, monitoring dan pengunggahan naskah, seleksi dan penjurian. Proses ini tidak berhenti di penulisan, karena dilanjutkan dengan proses editing dan layout hingga akhirnya buku dicetak dan diluncurkan dalam momen pameran karya santri.
Kepala TMI dalam sambutannya pada pembukaan program ini menyampaikan, “Salah satu dari banyak cita-cita guru, bahkan pendiri pesantren juga, bahwa kita itu harus punya tradisi yang utama dari seorang santri yaitu keilmuan. Tradisi keilmuan tidak akan pernah lepas dari aktifitas utama yaitu membaca dan menulis.” Beliau juga menambahkan, “Suatu bangsa yang memiliki peradaban yang maju dan lebih baik, ukurannnya yang paling sederhana adalah memiliki budaya membaca dan menulis.”
Menegaskan pentingnya tulisan sebagai warisan, beliau berkata, “Jika ada warisan yang harus diwariskan adalah apa yang kamu tulis. Karena apa yang terjadi di dunia ini, perkembangannya dan segala dinamikanya itu berdasarkan prosesnya, dan prosesnya itu diabadikan melalui tulisan dan menjadi tulisan sejarah, lalu kita belajar berdasarkan catatan tersebut” ungkapnya.
Lebih jauh lagi, beliau menegaskan urgensi menulis dalam kehidupan pribadi, “Baca nulis itu bukan untuk keren-kerenan, tapi untuk menjadikan pribadi agar lebih paham tentang kehidupan, lebih paham bagaimana mengelola pikiran dan mengembangkan diri. Jika ada orang yang hidupnya merasa bete atau sumpek, itu adalah ciri orang yang tidak mampu mengelola pikirannya dengan baik, orang yang bisa nulis berarti orang tersebut sudah bisa mengelola pikirannya dengan baik.”
Melalui program “One Santri One Book”, pesantren tidak hanya menjaga tradisi keilmuan, tetapi juga mengaktualisasikannya dalam bentuk yang relevan dengan tantangan zaman. Inilah langkah nyata pesantren dalam mencetak generasi santri yang bukan hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga mumpuni dalam literasi dan kontribusi intelektual.
Tinggalkan Komentar