“Kalau tidak Diatur Agama, Kita tidak akan ke Surga”
Usia Pesantren Darul Muttaqien kini sudah menginjak angka 30, angka yang terbilang cukup matang bagi usia seorang manusia. Perjuangan Darul Muttaqien telah melewati proses yang begitu panjang dan melelahkan hingga sampai saat ini. Pesantren Darul Muttaqien mampu berdiri tegak dan maju hingga kini, tentunya melalui sebuah perjuangan, pengorbanan, dan kebersamaan para pendiri, guru-guru, dan santri.
Senin (1/10), Pesantren Darul Muttaqien gelar Sujud Syukur 30 Tahun Pesantren Darul Muttaqien bersama seluruh santri TMI putra dan putri, dewan guru TMI, SMPIT, SDIT, RA, TPQ, dan Diniyah Takmiliyah. Acara dihadiri oleh pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, KH. Hasan Abdullah Sahal.
“Saya tadi malam baru pulang dari Moskow Rusia, di sana semua ada, tapi orang masih sangat menghargai disiplin, tahun kemaren saya di Inggris Eropa. Di sana ketemu Mezut Ozil (pesepak bola muslim Jerman) di restoran halal. Orang-orang di sana cara hidup, cara makan, bergaul yang islami yang halal laku. Di Indonesia banyak orang, tokoh, pemimpin menganjurkan umat Islam meninggalkan agama. Pergaulan ga usah (diatur) agama, makan ga usah (diatur) agama, memilih (pemilu) ga usah (diatur) agama… ya Allah. Kalau tidak diatur agama, kita tidak akan ke surga. Sebaik-baik hidup ya, yang diatur agama, maka… ”Wahai jiwa yang tenang, kembali ke jalan Allah dengan hati yang ridho, maka, masukklah ke dalam golongan hamba-hamba-Nya dan masuklah ke dalam surga-Nya’ (Al-Fajr 27-30). Jadi, otakmu, pikiranmu hanya untuk Allah semata”, pesan KH. Hasan Abdullah Sahal (Pimpinan Pondok Modern Darussalam, Gontor).
“Subhanallah, subhanallah… ini saja, maka kehidupan ini nikmat sekali, kamu nikmati pondok pesantren (Darul Muttaqien yang luasnya 16 ha), makanya saya senang sekali kalau yang putra dengan putri ini dipisah, yang wanitia dididik nilai-nilai yang maksimal, yang laki-laki juga maksimal dengan ketangguhan, tanggungjawab, tangkas dan kepemimpinan yang tinggi. Wanita dengan keterampilan, ketulusan, kelembutan dan rasa malu yang tinggi. Saat ini kepemimpinan laki-laki tipis sekali dan rasa malu perempuan juga sangat tipis, makanya bersyukur kalian dididik di pesantren”, lanjut Kiyai Hasan.
“Orang-orang di pondok betah, kenapa… Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anakku, kita itu sekarang di jannah, kakek-kakek, buyut-buyut, engkong-engkong, Irji’i ila robbiki rhodhiyatan mardiyah, kita sudah punya Aqidah, pelajaran (agama), kehidupan, kita mendapat ilmu bermasyarakat, “kamu mempunyai jiwa yang tenang” betulll”
“Betulll….”, jawab santri
“Kamu makan ga?, boleh makan, boleh tertawa, boleh olah raga, boleh teriak, boleh sorak, boleh nangis….? boleh nangis….?”
“Boleeeehh…” jawab santri kompak
“Gak malu nangisss….”
“Boleh teriak pada waktunya, waktu adzan teriak, atau bisik-bisik…?”
“Teriaakk” jawab santri.
“Masya Allah, 30 tahun Darul Muttaqien, saya untuk pertama kali kemari, senang sekali saya menyaksikan ini. Doakan saya selalu sehat, bisa mendidik, mengawal dan mengawasi anak-anak…”.
Nilai-nilai yang disampaikan Kiyai Hasan yang disisipkan dalam humor ala santri, benar-benar menginspirasi dewan guru, anak-anak juga pengurus Yayasan Darul Muttaqien yang hadir, KH. Jamhari Abdul Jalal, Lc (alumni Gontor, Pimpinan Darunnajah 2 Cipining Bogor) H. Noor Badri, BA (alumni Gontor, Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta) dan beberapa alumni Gontor (IKPM) yang hadir. Di akhir acara, Kiyai Hasan memimpin doa dan diaminkan oleh seluruh jamaah yang hadir.
“Ya Allah… Rahmatmu lebih luas dari dosa-dosa kami, karuniamu lebih luas dari maksiat kami, ya Allah janganlah dosa-dosa kami, maksiat-maksiat kami, menjadi penghalang terkabulnya doa-doa kami…”
Dengan suksesnya terselenggaranya sujud syukur yang dilaksankaan di masjid Al-Amin pada senin (1/10), maka semarak rangkaian kegiatan 30 tahun Pesantren Darul Muttaqien telah usai, namun semangat dan nilai-nilai perjuangan harus tetap dilanjutkan.
Tinggalkan Komentar